Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau
sering kita sebut dengan IPTEK adalah sesuatu yang selalu berkembangdantidak
akan pernah berhenti berkembang. Sejak zaman peradaban awal, hingga kini,
manusia tidak terlepas dari berkembangnya IPTEK tersebut.Inovasi-inovasi baru
dari IPTEK kian hari pun kian berwarna-warni.
Bahkan, berkembangnya kebudayaan manusia pun turut dipengaruhi oleh
berkembangnya inovasi-inovasi IPTEK tersebut. Hampir semua aspek kehidupan
masyarakat sekarang ini dipengaruhi oleh perkembangan IPTEK, Hal itu terbukti
dengan semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan teknologi di
kehidupannya,seperti : Televisi, Smartphone yang canggih, dan masih banyak lagi
teknologi-teknologi lainnya.
Pada dasarnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat untuk mempermudah pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari, Sebagai manusia yang beragama kita tentunya mempunyai aturan-aturan dalam menggunakan teknologi sesuai syariat agama islam, Jangan sampai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di gunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh agama, karena didalam agama Islam sangat memperhatikan segala aspek kehidupan, salah satunya,ketika IPTEK disalah gunakan maka itu termasuk perbuatan yang dilarang oleh ajaran Islam.
A. Konsep IPTEKS dan Peradaban Muslim
Salah satu jabatan termulia
manusia selain sebagai hamba Allah („abdullah)
sebagaimana diamanatkan oleh Allah ialah pengutusan manusia sebagai khalifatullah. Dalam al-Qur‟an surat
Al-Baqarah [2]: 30 disebutkan:
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
Dari ayat di atas dapatlah
dipahami bahwa khalifah berarti
wakil, pengganti, pengemban tugas dan kewajiban, suksesor. Manusia sebagai khalifah Allah diberikan amanah dalam
dua hal penting. Pertama, tugas
manusia untuk selalu memelihara bumi dari pengerusakan secara sengaja dan
kerusakan yang disebabkan oleh alam sehingga bumi diwariskan kepada generasi
penerus dalam keadaan tetap lestari. Kedua,
kewajiban manusia untuk selalu menciptakan perdamaian dengan penuh cinta kasih
dan menghindari pertumpahan darah. Hal ini sejalan dengan visi Risalah Islamiyyah untuk selalu menebar
rahmat kepada alam (wa maa arsalnaaka
illa rahmatan lil „aalamiiin).
Kedua tugas dan kewajiban manusia di atas sejalan dan terkait erat dengan konsep pemikiran IPTEKS dan Peradaban. Tugas manusia untuk menjaga, merawat, dan memelihara bumi dari berbagai macam pengerusakan yang dilakukan oleh ulah manusia yang tak bertanggungjawab dengan melakukan eksploitasi berlebihan dapat mengancam keselamatan umat manusia.
Islam merupakan agama yang sangat
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Banyak disebutkan dalam Al Qur‟an ayat-ayat
yang menganjurkan manusia untuk senantiasa mencari ilmu. Allah senantiasa
meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, sebagaimana telah dijelaskan
dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 11,
Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Yang terpenting adalah ilmu itu tujuannya tidak boleh keluar dari nilai-nilai islami yang sudah pasti nilai-nilai tersebut membawa kepada kemaslahatan manusia. Seluruh ilmu, baik ilmu-ilmu teologi maupun ilmu-ilmu kealaman merupakan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan selama memerankan peranan ini, maka ilmu itu suci. (Mahdi Ghulsyani, 1998: 57).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan konsekuensi dari konsep ilmu dalam Al Qur‟an yang menyatakan bahwa hakikat ilmu itu adalah menemukan sesuatu yang baru bagi masyarakat, artinya penemuan sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui orang (Imam Mushoffa, dan Aziz.Musbikin. 2001: XII)
Namun satu fenomena yang paling memilukan yang dialami umat Islam seluruh dunia saat ini adalah ketertinggalan dalam persoalan iptek, padahal untuk kebutuhan kontemporer kehadiran iptek merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar, terlebih-lebih iptek dapat membantu dan mempermudah manusia dalam memahami (mema‟rifati) kekuasaan Allah dan melaksanakan tugas kekhalifahan (Zalbawi Soejoeti, 1998: XIII)
Realitas tersebut sebenarnya
tidak akan terjadi jika umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang hakiki.
Untuk itulah sudah saatnya umat Islam bangkit untuk mengejar ketertinggalannya
dalam hal iptek, karena sebenarnya dalam sejarah dijelaskan bahwa umat Islam
pernah memegang kendali dalam dunia intelektual, jadi sangat mungkin jika saat
ini umat Islam bangkit dan meraih kembali kejayaan Islam tersebut.
1. Pengertian IPTEKS
Mengenai kata Ipteks orang berbeda pendapat, ada yang menganggap merupakan singkatan dari dua komponen yaitu “ilmu pengetahuan” dan “teknologi” dan ada pula yang memasukkan unsur seni di dalamnya sehingga singkatannya menjadi ipteks.
Mengenai definisi ilmu pengetahuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai gabungan berbagai pengetahuan yang di susun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab dan akibat (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999:371)
Lebih jauh Zalbawi Soejati mendefinisikan ilmu pengetahuan atau sains sebagai sunnatullah artinya adalah ilmu yang mengarah perhatiaannya kepada perilaku alam (bagaimana alam bertingkah laku). (Zalbawi Soejoeti, 1998: 148)
Menurut Ali Syariati dalam buku Cakrawala Islam yang ditulis oleh Amin Rais, Ilmu adalah pengetahuan manusia tentang dunia fisik dan fenomenanya. Ilmu merupakan imagi mental manusia mengenai hal yang kongkret. Ia bertugas menemukan hubungan prinsip, kausalitas, karakteistik di dalam diri manusia, alam, dan entitas-entitas lainnya (M.Amin Rais, 1999: 108)
Sedangkan kata teknologi berasal dari bahasa Yunani "teknikos" berarti "teknik". Apabila ilmu bertujuan untuk berbuat sesuatu, maka teknologi bertujuan untuk membuat sesuatu. Karena itu maka teknologi itu berarti suatu metode penerapan ilmu untuk keperluan kehidupan manusia (Komaruddin, 1987: 275-276)
Menurut Zalbawi Soejati, teknologi adalah wujud dari upaya manusia yang sistematis dalam menerapkan atau memanfaatkan ilmu pengetahuan / sains sehingga dapat memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi umat manusia (Zalbawi Soejoeti, 1998: 150)
Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan merupakan kumpulan beberapa pengetahuan manusia tentang alam empiris yang disusun secara logis dan sistematis. Sedangkan Teknologi merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan tersebut, yang tujuan sebenarnya adalah untuk kemaslahatan manusia.
Berkaitan dengan terma teknologi ini, Achmad Baiquni menambahkan bahwa dalam perjalanan umat manusia menuju masyarakat industrial, proses yang menyertainya akan menimbulkan pergeseran nilai dan benturan budaya yang tidak dapat dielakkan karena memang budaya santai dari masyarakat agraris yang bertenaga hewani berlainan dengan budaya tepat waktu pada masyarakat industrial yang tenaganya serba mesin, dan nilai-nilai bergeser pada saat wanita, yang semula sangat terikat dengan rumah dan keluarga, merasa bebas menggunakan kendaraan bermesin sebagai sarana transportasi dan pesawat telpon sebagai alat komunikasi. Dengan keimanan dan ketakwaan dapat dipilih nilai-nilai baru dan budaya baru yang sesuai dengan ajaran agama (Achmad Baiquni, 1995: 154).
Untuk definisi seni, dalam Ensiklopedia Indonesia diartikan sebagai penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Tim Penyusun Ensiklopedia Indonesia, 3080-3081)
Berbicara mengenai seni, identik dengan istilah estetika yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan keindahan, entah menurut realisasinya entah menurut pandangan subyektif (Dick Hartoko, 1993: 16)
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa seni identik dengan rasa yang timbulnya dari dalam jiwa, namun demikian
gejala keindahan yang ditimbulkan oleh seni bisa juga didekati dari sudut
sains. Sebuah lukisan misalnya dapat dianalisa menurut pembagian bidang, jadi
menurut matematika. Komposisi warna dapat dianalisa secara eksperimental
menurut efek psikologis.
2. Konsep IPTEKS dalam Islam
Sudah menjadi pemikiran yang umum bahwasanya agama yang identik dengan kesakralan dan stagnasi tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan ipteks yang notabene selalu berkembang dengan pesat. Namun pemikiran ini tidak berlaku lagi ketika agama tidak hanya dilihat dari ritualitas-ritualitas belaka namun juga melihat nilai-nilai spiritualitas yang hakiki.
Menurut Harun Nasution, tidak tepat anggapan yang mengatakan bahwa semua ajaran agama bersifat mutlak benar dan kekal. disamping ajaran-ajaran yang bersifat absolut benar dan kekal itu terdapat ajaran-ajaran yang bersifat relatif dan nisbi, yaitu yang dapat berubah dan boleh diubah. Dalam konteks Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, memang terdapat dua kelompok ajaran tersebut, yaitu ajaran dasar dan ajaran dalam bentuk penafsiran dan penjelasan tentang perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar itu (Harun Nasution, 1995: 292)
Allah SWT. menciptakan alam semesta dengan karakteristik khusus untu tiap ciptaan itu sendiri. Sebagai contoh, air diciptakan oleh Allah dalam bentuk cair mendidih bila dipanaskan 100 C pada tekanan udara normal dan menjadi es bila didinginkan sampai 0 C. Ciri-ciri seperti itu sudah lekat pada air sejak air itu diciptakan dan manusia secara bertahap memahami ciri-ciri tersebut. Karakteristik yang melekat pada suatu ciptaan itulah yang dinamakan “sunnatullah”. Dari Al Qur‟an dapat diketahui banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta, mengkaji dan meneliti ciptaan Allah (Fuad Amsari, 1995: 70)
Disinilah sesungguhnya hakikat Iptek dari sudut pandang Islam yaitu pengkajian terhadap sunnatullah secara obyektif, memberi kemaslahatan kepada umat manusia, dan yang terpenting adalah harus sejalan dengan nilai-nilai keislaman.
Allah SWT. secara bijaksana telah memberikan isyarat tentang ilmu, baik dalam bentuk uraian maupun dalam bentuk kejadian, seperti kasus mu‟jizat para Rasul. Manusia yang berusaha meningkatkan daya keilmuannya mampu menangkap dan mengembangkan potensi itu, sehingga teknologi Ilahiyah yang transenden ditransformasikan menjadi teknologi manusia yang imanen (Imam Mushoffa, Aziz.Musbikin, 2001: XII)
Studi Al Qur‟an dan Sunnah menunjukkan bahwa karena dua alasan fundamental, Islam mengakui signifikansi sains:
1. Peranan sains dalam mengenal Tuhan
2.
Peranan sains dalam stabilitas
dan pengembangan masyarakat Islam (Mahdi Ghulsyani, 1998: 62)
Dari sini dapat dilihat bahwa dalam Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan sebagai sarana untuk mengenal Allah dan juga untuk melaksanakan perintah Allah sebagai khalifatullah fil Ard sehingga sains tersebut harus membawa kemaslahatan kepada umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya.
Melihat banyaknya jenis bentuk seni yang ada, maka ulama berbeda pendapat dalam memberi penilaian. Dalam hal menyanyi adan alat musik saja jumhur mengatakan haram namun Abu Mansyur al Baghdadi menyatakan:"Abdullah bin Ja'far berpendapat bahwa menyanyi dan alat musik itu tidak masalah. Dia sendiri pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan" (Abdurrahman Al-Baghdadi, 1991: 21)
Namun menurut Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati menyatakan bahwa seniman dan budayawan bebas melukiskan apa saja selama karyanya tersebut dinilai sebagai bernafaskan Islam. (M. Quraish Shihab, 1999: 371)
Melihat berkembangnya seni yang ada penulis memandang pendapat Quraish Shihab lebih araif dalam menyikapi perkembangan zaman yang mana kebutuhan masa kini tentu saja lebih komplek sifatnya dibandingkan dengan kebutuhan pada masa awal Islam.
3. Fakta IPTEKS dalam al-Qur’an
Setelah membahas ipteks dalam Islam secara global, disini akan dipaparkan beberapa fakta ilmiah dalam Al Qur‟an. Al Qur‟an merupakan satu-satunya mu‟jizat yang tak lekang dimakan zaman. Al Qur‟an ini bersifat universal untuk seluruh umat manusia.
Salah satu sifat asli Al-Qur‟an yang membedakannya dari bible adalah bahwa untuk mengilustrasikan penegasan yang berulang-ulang tentang kemahakuasaan Tuhan, kitab tersebut merujuk kepada suatu keragaman gejala alam (Maurice Bucaille, 1998: 195).
Diantara aspek-aspek terpenting
dari pemikiran ini, bahwa al-Qur'an berisi informasi tentang fakta-fakta ilmiah
yang amat sesuai dengan penemuan manusia, yang diantaranya adalah sebagai
berikut:
Bahwa seluruh kehidupan berasal
dari air QS. Al-Anbiya [21]: 30,
“dan
Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka
tiada juga beriman?
Bahwa alam semesta terbentuk dari gumpalan gas (di
dalam al-Qur'an disebut
dengan ad-Dukhan)
QS.
Fushshilat [41]: 11
“Kemudian
Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu
Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut
perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami
datang dengan suka hati".
Selain fakta ilmiah yang
disebutkan diatas juga tampak dari penamaan surat-surat dalam Al Qur‟an antara
lain: An-Nahl, An-Naml, Al-Hadid, Ad-Dukhan, An-Najm, Al-Qomar dan masih banyak
lagi yang lainnya.
Dari beberapa fakta ilmiah tersebut di dalam al-Qur'an, amatlah jelas bahwa al-Qur'an memberikan petunjuk kepada manusia tentang berbagai hal. Untuk mengetahui secara detail dan seksama, maka manusialah yang harus berusaha untuk memecahkan berbagai problematika keilmuan yang didapati dalam kehidupan ini dengan berlandaskan pada ajaran al-Qur'an. Dengan berlandaskan kepada al-Qur'an, manusia akan mengetahui hasil penelitiannya mengenai alam melalui "pengkomparasian (pencocokan)" dengan al-Qur'an", apakah sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh al-Qur'an atau sebaliknya (Nasim Butt, 2001: 60)
Disamping contoh fakta ilmiah tersebut di atas, terdapat pula ayat yang mengisyaratkan tentang teknologi kepada umat manusia. Al-Qur'an tidak menghidangkan teknologi suatu ilmu yang murni dan lengkap, tetapi hanya menyinggung beberapa aspek penting dari hasil teknologi itu dengan menyebutkan beberapa kasus atau peristiwa teknik. Perlu diingat bahwa al-Qur'an bukan buku teknik sebagaimana juga ia bukan buku sejarah (walaupun banyak juga kisah di dalamnya), buka buku astronomi, fisika dan lain-lain, melainkan kitab suci yang berisi petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia.
Disamping banyak tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi, Al-Qur'an juga membahas tentang seni, hal ini dapat
dilihat pada firman Allah QS. Asy-Syu‟ara‟ [26]: 149,
“Tuhan
yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu
adalah orang yang meyakini”.
Ayat di atas menunjukkan seni
pahat yang dilakukan oleh kaum nabi Shaleh yaitu memahat gunung untuk dijadikan
rumah.
B. Hubungan Ilmu, Agama dan Budaya
1. Pengertian Ilmu, Agama dan Budaya
Ilmu (science) termasuk pengetahuan (knowledge). Yang dimaksud dengan ilmu ialah pengetahuan yang diperoleh dengan cara tertentu yang dinamakan metode ilmiah.
Pengertian pengetahuan lebih luas daripada ilmu. Pengetahuan adalah produk pemikiran. Berpikir merupakan suatu proses yang mengikuti jalan tertentu dan akhirnya menuju kepada suatu kesimpulan dan membuahkan suatu pendapat atau pengetahuan. Menurut Leonard Nash (dalam The Nature of Natural Sciences, 1963 cit. Soemitro, 1990), ilmu pengetahuan adalah suatu institusi sosial (social institution) dan juga merupakan prestasi perseorangan (individual achievement).
Dalam hipotesisnya Endang Saifuddin Anshari (1981: 97) menjelaskan ada empat sumber pengetahuan manusia yaitu: 1) „Pikiran manusia‟. Hal ini melahirkan paham rationalism yang berpendapat bahwa sumbe satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rationya (akal budinya). Pelopornya ialah Rene Descartes. Aliran ini sangat mendewakan akal budi manusia yang melahirkan paham „intelektualisme‟ dalam dunia pendidikan. 2) „Pengalaman manusia‟. Dengan ini muncul aliran empirisme yang dipelopori oleh tokoh yang bernama John Locke. Manusia dilahirkan sebagai kertas putih. Pengalamanlah yang akan memberikan lukisan kepadanya. Dunia empiris merupakan sumber pengetahuan utama. Dalam dunia pendidikan terkenal dengan teori „tabula rasa‟ (teori kertas putih). 3) „Intuisi manusia‟. Kalau pengetahuan yang diperoleh secara rasional dan empiris merupakan produk dari suatu rangkaian penalaran maka intuisi merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran itu. Jawaban dari permasalahan yang sedang dipikirkan muncul di benak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya untuk sampai kesitu secara rasional. Pengetahuan intuitif ini digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menetapkan benar tidaknya penetapan yang dikemukakan itu. Kegiatan intuitif dan analitik saling bekerjasama dalam menemukan kebenaran. Bagi tokoh Nietzsche, intuisi ini merupakan „intelegensi‟ yang paling tinggi dan bagi tokoh Maslow merupakan „pengalaman puncak‟ (peak experience). 4) „Wahyu Allah‟ adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat para nabi utusan-Nya sejak nabi pertama sampai yang terakhir sebanya 25 orang. Wahyu Allah ini dikodifikasikan dalam tiga buah kitab suci yaitu: Taurat, Injil, dan al-Qur‟an. Wahyu Allah berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh empiri maupun yang mencakup permasalahan yang transcendental seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti (di hari kemudian). Pengetahuan ini berdasarkan kepercayaan atau keimanan kepada Allah sebagai sumber pengetahuan, kepada kehidupan di akhirat, kepada malaikat-malaikat (sebagai perantara Allah menemui para nabi), kepada kitab-kitab suci (sebagai cara penyampaian) dan kepada para nabi (sebagai perantara dan penerima wahyu Allah). Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam agama lewat pengakajian selanjutnya dalam meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu.
Istilah teknologi berasal dari perkataan Yunani technologia yang artinya pembahasan sistematik tentang seluruh seni dan kerajinan. Teknologi yaitu usaha manusia dalam mempergunakan segala bantuan fisik atau jasa-jasa yang dapat memperbesar produktivitas manusia melalui pemahaman yang lebih baik, adaptasi dan kontrol, terhadap lingkungannya. Teknologi merupakan penerapan. Oleh karena itu, teknologi berbeda dalam dimensi ruang dan waktu (Soemitro, 1990).
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur‟an surat 3: 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984: 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari‟at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari‟at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu
berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata
kerja, tapi keduanya sama-sama
memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata‟ala dalam Islam.
Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut: “Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75).
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 149), disebutkan
bahwa: “budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat
istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi
mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian,
ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau
tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of
life, dan kelakuan.
Menurut Ki Hadjar Dewantoro Kebudayaan adalah "sesuatu" yang
berkembang secara kontinyu, konvergen, dan konsentris. Jadi Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, baku atau mutlak. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan evolusi batin maupun fisik manusia secara kolektif.
Dari beberapa pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek
kehidupan manusia baik material maupun non material
Hubungan antara Ilmu dengan Agama dan Ilmu denan Budaya Walaupun daerah agama dan daerah ilmu yang nyata terpisah satu sama
lain, namun antara keduanya terdapat hubungan yang kuat. Walaupun agama yang menetapkan tujuan, namun agama tetap belajar dari ilmu dalam arti yang seluas-luasnya. Alat-alat apa yang dapat membantu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Akan tetapi ilmu hanya dapat diciptakan oleh orangorang yang jiwanya penuh dengan keinginan untuk mencapai kebenaran dan pengertian (Endang Saifuddin Anshari, 1981: 153-154).
Seperti halnya kebudayaan agama sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami kalua perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta pemikiran kritis.
Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling mempengarui. Agama mempengaruhi sistem kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan. Sebalikny akebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama di interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak ada agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang – Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya, dlam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper umum dalam semua agama.
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak, kuduanya justru saling mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma yang mengatakan bahwa ” Manusia yang be iiragma pasti berbudaya tetapi manusia yang berbudaya belum tentu beragama”.
Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah bertentangan karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi berkembang terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban dunia.
Jika kita teliti budaya Indonesia, budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme,
yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman
bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan
bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh.
Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari‟ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntut balasan yaitu kasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.
Masyarakat, agama dan kebudayaan sangat erat berkaitan satu sama lain. Saat budaya atau agama diartikan sesuatu yang terlahir di dunia yang manusia mau tidak mau harus menerima warisan tersebut. Berbeda ketika sebuah kebudayaan dan agama dinilai sebagai sebuah proses tentunya akan bergerak kedepan menjadi sebuah pegangan, merubah suatu keadaan yang sebelumnya menjadi lebih baik.
Ketika agama dilihat dengan kacamata agama maka agama akan memerlukan kebudayaan. Maksudnya agama (Islam) telah mengatur segala masalah dari yang paling kecil contohnya buang hajat hingga masalah yang ruwet yaitu pembagian harta waris dll. Sehingga disini diperlukan sebuah kebudayaan agar agama (Islam) akan tercemin dengan kebiasaan masyarakat yang mencerminkan masyarakat yang beragama, berkeinginan kuat untuk maju dan mempunyai keyakinan yang sakral yang membedakan dengan masyarakat lainnya yang tidak menjadikan agama untuk dibiasakan dalam setiap kegiatan sehari-hari atau diamalkan sehingga akan menjadi akhlak yang baik dan menjadi kebudayaan masyarakat tersebut.
Untuk membudayakan agama melalui
salah satu sumber ajarannya yaitu al-Qur‟an, maka diperlukan sebuah pembaruan
pemikiran keagamaan yang merefleksikan respon manusia tehadap wahyu Allah.
Seiring hal itu Dawam Rahardjo memiliki pandangan yang menarik tentang wahyu
Allah (al-Qur‟an) bahwa bukan hanya ulama‟ yang punya hak istimewa atas
al-Qur‟an, tetapi setiap orang, seharusnya setiap muslim punya akses, jalan
masuk yang langsung pada wahyu Allah. Oleh sebab itulah dalam karya tafsir
kontemporer dia maksudkan agar kaum muslim dari berbagai jenis tingkatan
pengetahuan, pendidikan dan tingkat intelektual bisa melakukan komunikasi
langsung dengan al-Qur‟an. (M. Dawam Rahardjo, 2002: 12)
C. Hukum Sunnatullah
(Kausalitas)
1. Pengertian Sunatullah
Sunnatullah merupakan istilah dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu sunnah ( ةَّنٌسُ) dan Allah (للها). Dengan digabungkannya dua kata tersebut,
maka
menjadi susunan idhafah (ةَفاضَِإ), yaitu
susunan kata yang terdiri dari kata
yang disandari (mudhaf)
dan kata yang disandarkan (mudhaf ilaihi).
Kata sunnat berkedudukan sebagai mudhaf (فاضَمُ) dan
kata Allah berkedudukan sebagai
mudhaf ilaihi (هٌِيَْلِإٌفاضَمُ) nya.
Di dalam bahasa Arab, kata sunnah dengan fi'il madhi (kata kerja untuk masa lampau)-nya sanna (نٌَّسَ) ini
mempunyai beberapa arti. Di antaranya adalah,
thariqah (jalan, cara, metode), sirah (peri
kehidupan, perilaku), thabi‟ah (tabiat, watak), syari‟ah (syariat, peraturan, hukum) atau dapat juga berarti suatu
pekerjaan yang sudah menjadi tradisi (kebiasaan)(Ahmad Warson Munawwir, 1993:
1135).
Menurut Syaikh al-Islam Ibnu
Taimiyyah, sunnah adalah kebiasaan
yang dilakukan kedua kalinya seperti apa yang dilakukan pertama kalinya.
Sedangkan menurut Ar Razi, sunnah
adalah jalan yang lurus dan tauladan yang diikuti. Di antara pendapat kedua
tokoh Islam dan beberapa pendapat lain tentang arti kata sunnah, makna sunnah berkisar
pada jalan yang diikuti (Abdul Karim Zaidan:
25). Dan secara umum, kata sunnat
digunakan oleh al-Qur‟ān sebagai cara atau aturan (Rahmat Taufiq Hidayat, 1996:
135).
Sedangkan kata Allah adalah nama bagi Dzat Tuhan Yang Maha Esa, Kata Allah telah dikenal sejak masa pra Islam
oleh orang-orang Arab. Ia adalah salah
satu tuhan (dewa) orang Mekkah, tuhan yang
menempati posisi tertinggi dan tentu saja tuhan (yang dianggap) sebagai
pencipta (A. Abel, 1960: 406).
Jadi, sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara Allah memperlakukan
manusia, yang dalam arti luasnya bermakna ketetapan-keteapan atau hukum-hukum
Allah yang berlaku untuk alam semesta (Rahmat Taufiq Hidayat, 1996: 135).
Sedangkan, di antara beberapa
pengertian secara terminologis adalah bahwa Sunnatullāh
adalah sebagai jalan yang dilalui dalam perlakuan Allah terhadap manusia sesuai
dengan tingkah laku, perbuatan dan sikapnya terhadap syariat Allah dan Nabi-Nya
dengan segala implikasi nilai akhir di di dunia dan akhirat (Abdul Karim
Zaidan: 25).
2. Pandangan Dasar tentang Sunatullah
Terma Sunnatullah yang banyak disebutkan di dalam al-Qur‟an merupakan
terma bagi aturan global yang berlaku dan ditetapkan oleh Allah terhadap
seluruh komponen alam semesta. Mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar,
dari yang bersifat materi maupun yang immateri, seluruhnya berjalan di atas
aturan-aturan ini. Dan secara umum, aturan tersebut berdiri diatas hukum
sebab-akibat (kausal) atau premis dan hasil akhir (conclution)(Abdul Karim Zaidan: 33).
Di dalam
al-Qur‟an dijelaskan:
“Kami
datangkan bagi setiap sesuatu dengan adanya sebab”. (QS. al-Kahfi [18]: 84)
Berdasarkan hal di atas, dapat
diketahui jika terma Sunnatullah ini
seringkali disandingkan/dikolokasikan dengan istilah hukum alam (causality) ala pemikiran Barat atau
bahkan dianggap sama oleh sebagian umat Islam. Padahal, di antara kedua terma
tersebut terdapat perbedaan yang sangat mendasar dan
substansial. Di dalam konsep Barat, hukum
kausalitas tersebut menafikan adanya ”kekuasaan” dan ”kehendak” di luar
kehendak dan kekuasaan manusia. Dalam arti murni didasarkan atas potensi suatu
benda atau usaha manusia saja. Sedangkan di dalam Islam, justru faktor di luar
diri manusia dan benda itulah yang menentukan hasil akhir dari hukum kausalitas
tersebut (Agus Mustafa, 2006: 60-61).
Dengan demikian, hukum kausalitas
di dalam Islam diyakini bahwa pada hakikatnya bukanlah sebab-sebab itu yang
membawa akibat. Namun, akibat itu muncul adalah karena Allah SWT menghendaki
demikian. Sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur‟ān:
Artinya:
“Maka
apakah mereka mencari agama yang lain dari agam Allah, padahal kepada-Nyalah
berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan”. (QS: ‟Ali Imran [3]: 83)
Dengan
demikian, hukum kausalitas di dalam Islam tidak hanya berjalan
secara
horisontal dalam dua arah, antara depan dan belakang, antara sebab dan
akibat,
akan tetapi berjalan dalam tiga arah. Horisontal dan vertikal, depan dan
belakang
serta atas. Sudut ”belakang” adalah peristiwa atau usaha dari potensi
suatu benda
atau manusia. Sedangkan
sudut vertikal adalah
kekuasaan dan
kehendak
Allah. Dan sudut ”depan” adalah
hasil akhir (conclution) (Agus
Mustafa,
2006: 61).
Di dalam
al-Qur‟an banyak sekali
disebutkan kejadian-kejadian yang
”menyimpang” jika dilihat dari perspektif hukum kausalitas barat. Inilah
sebenarnya
yang menunjukkan adanya ”Faktor” penentu di luar diri manusia
dalam setiap kejadian dan peristiwa yang terjadi.
Dan hal seperti ini, di dalam Islam juga disebut sebagai Sunnatullah (Choiruddin Hadhiri, 1993: 48).
Kembali kepada al-Qur‟ān, di
dalam al-Qur‟ān terdapat ayat-ayat yang menerangkan tentang varian
prinsip-prisip kausalitas, beberapa di antaranya adalah:
Ayat yang membicarakan pola-pola
(sunnah-sunnah) Allah yang tidak
berubah di dalam alam semesta.
§ Surat Al-Isra‟ [17]: 77
Artinya:
“(Kami
menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan yang terhadap rasul-rasul
Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi
ketetapan Kami itu”
Surat Al-Ahzab [33]: 38
“Tidak
ada suatu keberatan pun atas nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah
baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi
yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang
pasti berlaku”.
Ayat-ayat
yang menunjukan bahwa baik penciptaan ataupun sebab-sebab kejadian di dalam
alam mengikuti ukuran tertentu, dan setiap wujud alam memiliki rentang
kehidupan yang terbatas dan pasti
Surat Ar-Rahman [55]: 5
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitunan‟.
Surat Al-Hijr [15]: 21
“Dan
tidak ada sesesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanah (sumber)-nya dan
Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran-ukuran yang tertentu”.
Ketentuan
Sunatullah
Sunnatullah adalah hubungan ilmiah, dan dapat
diterangkan secara ilmiah dan logika
Sunnatullah adalah
hukum kausal, hubungan
sebab akibat yang
terjadi di alam, yang dapat diterangkan secara
ilmiah. Misalnya seseorang sakit, kemudian dia (si sakit) memakan obat, lantas
sembuh. Ini adalah sunnatullah, hubungan sebab akibat, jika makan obat maka
bakteri penyebab sakit akan mati dan, penyakit yang disebabkan oleh bakteria
tersebut akan hilang atau sembuh. Jika tidak makan obat kemungkinan sembuh
dengan segera itu kecil.
Dengan mengetahui hubungan
sunnatullah di alam di alam maka kita harus tidak meyakini bahwa obatlah yang
menyembuhkan si sakit, tetapi tetap Allah swt karena dengan sunnatullah yang
berlaku dialamlah yang menyebabkan si sakit sembuh setelah makan obat. Obat
disini hanyalah
usaha manusia. Dengan makan obat maka hubungan sebab akibat berlaku, dan
menyembuhkan si sakit.
Sunnatullah sesuatu yang dapat
diukur, diperhitungkan dan diramalkan Dengan mengetahui adanya sunnatullah di
alam kita dapat
membedakan mana ramalan atau prediksi ilmiah dengan
ramalan yang menyebabkan syirik. Ramalan Cuaca, Ramalan akan terjadi Gerhana
matahari, adalah contoh-contoh ramalan prediksi ilmiah yang didapat melalui
penelitian dan perhitungan ilmiah. Tetapi jika ramalan nasib memakai kartu,
ramalan nasib dengan bintang berdasarkan tanggal lahir, astrologi adalah
contoh-contoh ramalan yang dapat jatuh kepada kemusyrikan.
3.1 Kesimpulan
1. ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan
sebagai sarana untuk mengenal Allah dan juga untuk melaksanakan perintah Allah
sebagai khalifatullah fil Ard sehingga sains tersebut harus membawa
kemaslahatan kepada umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya.
2. Menurut Syaikh al-Islam
Ibnu Taimiyyah, sunnah adalah kebiasaan yang dilakukan kedua kalinya seperti
apa yang dilakukan pertama kalinya.
3. Terma Sunnatullah yang
banyak disebutkan di dalam al-Qur‟an merupakan terma bagi aturan global yang
berlaku dan ditetapkan oleh Allah terhadap seluruh komponen alam semesta.
DAFTAR PUSTAKA
Al Baghdadi, Abdurrahman. Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik & Tari. Gema Insani Press. Jakarta. 1991
Bucaille, Maurice. Asal Usul Manusia: Menurut Bibel AL-Quran Sain. Mizan Bandung.
1998.
Ghulsyani,
Mahdi. Filsafat-Sains Menurut AL-Quran.
Mizan. Bandung. 1998.
Komaruddin.
Kamus Riset. Angkasa. Bandung. 1987.
Shihab, M. Quraish. Lentera Hati: kisah Hikmah Dan Kehidupan. Mizan.
Bandung.
1999.
Soejoeti,
Zalbawi, et.al.. Al-Islam & Iptek, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
1998.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Dep Dik Bud.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai
Pustaka .Jalarta 1999.
Tim Penyusun Ensiklopedia Indonesia. Ensiklopedia Indonesia. PT. Ikhtiar
Baru-Van Hoeve. Jakarta. jilid V
Ahmad Warson Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Pustaka
Progressif.
Surabaya, 2002.
Rahmat
Taufiq Hidayat. Khazanah Istilah Al
Quran, Mizan, Bandung, 1996.
Endang Saifuddin Anshari. Ilmu Filsafat dan Agama, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1981.
Dawam Rahardjo. Ensiklopedi
al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina,
Jakarta, 2002.
Achmad Baiquni. Al-Qur’an; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1995.
0 Komentar